Presiden Jokowi Memutuskan, Proyek Masela Akan Dibangun di Darat- Setelah melalui pertimbangan yang panjang, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan proyek kilang gas bumi (liquefied natural gas/LNG) di Blok Abadi, Masela dibangun di darat (onshore). Menteri ESDM, Sudirman Said, akan segera meneruskan keputusan ini kepada investor blok tersebut, yaitu Inpex dan Shell.
Seperti diketahui, Inpex dan Shell telah menyiapkan skenario pembangunan proyek Masela di laut (offshore), dengan alasan biaya investasinya lebih murah.
"Kita mensyukuri pada akhirnya keputusan sudah diambil. Sejak Sidang Kabinet awal Februari, Bapak Presiden sudah diberikan penjelasan dan berbagai argumen. Kita menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Bapak Presiden. Minta dibangun di darat, dan kami sebagai penanggung jawab sektor akan menyampaikan ke investor untuk mengkaji ulang seluruh keputusan, karena keputusan investasi diambil di akhir 2018," tutur Sudirman di Bandara Soepadio, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (23/3/2016).
Sudirman yang mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba melakukan pengumuman soal keputusan Blok Masela. Selain Sudirman, hadir juga Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, Mensesneg Pratikno, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
Inpex dan Shell akan diberikan kesempatan untuk mengkaji ulang penghitungan proyek, dengan skema onshore seperti keputusan Jokowi.
"Kami akan sampaikan ini ke investor, dan beri kesempatan untuk mengkaji ulang. Akan ada penundaan sedikit. Tapi saya minta SKK Migas berdiskusi agar penundaan tidak panjang," jelas Sudirman.
Menurut Abdulrachim, Tenaga Ahli Bidang Kebijakan Energi Kemenko Maritim dan Sumber Daya, pembangunan kilang LNG di darat lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan di laut.
"Memang lebih bagus di darat. Di laut lebih mahal US$ 6 miliar. Hitungan kita di Kemenko Maritim, kalau di darat itu US$ 16 miliar, di laut itu US$ 22 miliar," ujar Abdulrachim kepada media, Rabu (23/3/2016).
Dia menjelaskan, jika kilang dibangun di laut, maka ada risiko dan beban biaya yang mesti ditanggung.
"Material di laut korosif dan segala macam. Materialnya lebih mahal, kena air laut selama 24 tahun kapalnya diganti. Kapal FLNG (Floating liquefied natural gas) untuk offshore jauh lebih mahal, kapalnya besar banget," ujar Abdulrachim. Membangun kilang LNG (Liquefied Natural Gas) di darat (onshore) ternyata banyak keuntungan dibandingkan di laut (offshore). Keuntungan itu antara lain bebas dari korosi air laut hingga lebih banyak membuka lapangan kerja.
Tenaga Ahli Kementerian Koordinator (Kemenko) Maritim dan Sumber Daya, Abdulrachim, menjelaskan kilang di laut rentan terhadap korosi sehingga kapal FLNG (Floating liquefied natural gas) harus diganti setelah 24 tahun.
Kondisi seperti itu tak akan terjadi jika kilang LNG dibangun di darat.
"Material di laut korosif dan segala macam. Materialnya lebih mahal, kena air laut selama 24 tahun kapalnya diganti. Karena korosi di laut akibatnya materialnya harus dilapisi zat kimia untuk melindungi dari korosi, nanti tiap 24 tahun perlu dilapisi lagi. Di darat kan nggak perlu, nggak seganas air laut. Jadi materialnya beda," ujar Abdulrachim kepada media, Rabu (23/3/2016).
Selain itu, kilang LNG yang dibangun di darat akan mendorong tumbuhnya industri petrokimia. Alhasil, akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar kilang.
"Nanti bisa banyak pabrik petrokimia di daerah situ, dan lebih banyak memberikan pekerjaan," kata Abdulrachim.
Bukan itu saja, biaya pembangunan kilang di darat juga lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan di laut. Abdulrachim mengatakan, Kemenko Maritim dan Sumber Daya pernah menghitung, pembangunan kilang di laut menelan biaya US$ 22 miliar, sedangkan di darat mencapai US$ 16 miliar.
Advertisement
0 komentar:
Posting Komentar